Awan sedang cemberut, parasnya terlihat suram dan berkabung. Terlihat kumulus yang enggan pergi di sana. Benar saja, tak lama kemudian kurang lebih 600 liter air laut ditumpahkan dari sana pula. Terik panas matahari tadi siang telah di bayar lunas oleh hujan sore ini. Aku menengok ke jam tangan sesekali, berteduh di halte bus sembari menengadahkan tangan ke rintik hujan yang semakin deras.
“Harusnya
jam segini bus sudah lewat untuk menjemputku” batinku
disertai gundah karena sendirian menunggu bus di bawah air hujan. Blazer yang
kukenakan mulai basah karena cipratan air hujan. Deras hujan semakin
menakutkan, apalagi sesekali halilintar muncul bersaut-sautan di atas halte
bus. Hectic hujan mulai terendus, tanah gersang yang disapa hantaman hujan
perlahan mengeluarkan aroma petrichornya. Kemudian smartphone-ku berbunyi.
Beep
beep
Sender: Nugie
08819117631
Dhir,
kamu pulang duluan? Masih di halte bus kan? Gue samperin ya. Tunggu bentar.
Sesegera mungkin aku balas pesan
singkatnya.
Damn! “Your message is failed”.
“I’m at a payphone trying to call home
All of my change,...”
Tak lama kemudian, smartphone-ku berbunyi lagi. Lantunan Payphone Maroon5 mengagetkanku.
Nugie is calling you...
“Halloo...”
“Gie,
Iya! Jemput gue. Sekarang ya! Gue takut sendirian di sini, cepetan ya!”
suara Nugie langsung ku potong dengan suara diktatorku yang tergesa-gesa
kemudian tanpa basa-basi ku tutup telfonnya.
Tak lama kemudian Black Beige Scooter berhenti di
hadapanku bersamaan dengan lelaki berkemeja fanel, berperawakan sedang, dan
membawa payung menjemputku. Iya, lelaki itu adalah Nugie, rekan kerjaku di
kantor.
Mungkin
beginilah cara Tuhan menyentilku yang jarang mensyukuri nikmat-Nya. Hampir
setiap pulang kerja sore hari memang aku selalu bareng Nugie, hanya saja
beberapa minggu terakhir ini aku mengurangi frekuensinya. Bukan hanya karena
rasa nggak enak ke Nugie, tapi rasa nggak enak banget yang selalu nebeng bareng
dia. Tapi anehnya, setiap aku pulang sendiri selalu ada hal buruk yang
menimpaku, di ganggu orang gila di halte, kecopetan di bus, dan terakhir bus
nya ganti ban di jalan adalah beberapa contohnya.
Nugie pun datang dan
mengantarku pulang. Selama perjalanan seperti biasanya, dua belas hingga tiga
belas kalimat menjadi dialog kami dengan topik yang hampir sama. Ah Nugie, 3
tahun cukuplah aku mengenal kepribadianmu. Selain sebagai sahabat yang rajin
mendengar celotehan satu sama lain, kita juga pembicara yang baik.
***
“Bareng Nugie lagi, Dhir?” suara di
balik pintu kamar kost ku yang tak asing di telinga. Mira, teman satu kamar kost
ku datang menghampiri sembari membawa dua mangkok mie ayam yang dia beli di Pak
Mono, penjual mie ayam di depan kost langganan kami. Tanpa pikir panjang, kuambil
mangkok di tangan kanannya dan dengan sigap melahapnya.
“Hmm,
mie ayam Pak Mono memang paling juara deh” kataku sambil terus mengunyah mie.
“Kenapa
kalian gak jadian aja sih?” Tanya Mira kepadaku.
“Siapa?
Nugie?” lirikku ke
Mira.
“Iya.
Siapa lagi? Kalian udah lama temenan, sama-sama jomblo. Nugie anak yang baik,
pinter udah jelas. Dia selalu jadi andalan bos mu di setiap presentasi meeting.
Kalau tampang sih, cakepan Nugie dikit deh dari cowok gue hahaha, dan lagi...”
Kalimat panjang Mira
berhenti ketika ku arahkan sendok makanku ke wajahnya.
“Ra,
Kita cuma temenan. Oke?” jawabku sembari menunggingkan senyum “Iya sih dia baik” imbuhku.
“Lo
gak friendzone-in dia kan? Jahat lu!” Kata Mira dengan wajah serius.
“Taelah!
Ya enggaklah, Ra. Kita murni sahabatan, lagian gue bukan tipenya Nugie.”
“Emang
udah nanya?”
“Enggak.
Gak pernah. Tapi dia pernah bilang suka yang kek Nabila Syakieb gitu hahaha”
jawabku sambil meraih remote TV dan menyalakannya.
“Hahaha
cowok gue juga suka Nabilah JKT48, gue mah biasa aja” tukas Mira.
***
“Adhira
Khairina Pramesti”
Suara nyaring lelaki yang
sudah akrab ditelinga itu memanggil dari belakangku. Derap langkah sneakers nya kemudian menghampiri pojok
kanan ruang kerjaku.
“Kita
makan siang ditempat biasa kan?” Sapanya.
“Oke”
“Singkat
banget jawabnya? Udah ah gak perlu dipikir yang semalem. I’m fine.” Tukasnya
sambil nyengir ke arahku.
“Gie,
aku..”
“Udah
deh, biasa aja. Ditolak gak akan membuatku mati, bukan? Hahaha” Ucapnya
memotong kalimatku disertai tawa renyah.
Akupun tersenyum
kearahnya. Bukan, bukan aku tidak menyukaimu Nugie Adyaksa Putra. Aku bahkan
menunggumu cukup lama untuk mengungkapkan kalimat itu padaku. Hanya saja aku
takut kamu meninggalkanku. Sejarah percintaanku memang terburuk, selalu
ditinggalkan ketika aku sedang cinta-cintanya. Aku hanya ingin menyederhanakan
luka. Aku memilih untuk tidak memulainya lagi sebelum pertahananku kokoh agar
tak mudah dihancurkan dan memasang filterisasi kualitas terbaik disana.
***
Beberapa bulan
kemudian, hubungan kami semakin baik meski tanpa status yang pasti. Tiada hari
tanpa kebersamaan. Selain 6 hari dalam seminggu berada di kantor yang sama, tak
jarang kami menghabiskan weekend keluar kota bersama. Tuntutan pekerjaanku
sebagai fashion editor majalah yang
cukup terkenal di ibukota tempatku tinggal, Malang, memang mensyaratkannya. Hingga
akhirnya, tugas ke Jogja dari bos yang sangat diharapkan pun datang juga. Kita
berangkat kesana dengan semangat yang berkobar, dua hal yang perlu dicatat;
Jogja yang indah dan Rekan kerja yang menggugah.
“Kita
cari makan dulu ya nona manis?”
“Ah,
kamu. Jadi, mau makan dimana kita?” Jawabku sambil
memandang sekitar bak anak kecil yang baru pertama kali pergi ke toko mainan.
Iya, pesona Jogja tak tergerus waktu.
“Mak
Engking, gak jauh dari sini non. Di daerah Minggir, Sleman. Udang bakar madu
nya juara banget” Katanya
“Let’s
Go!” Jawabku dengan tanpa sadar mengangkat kedua tangan
layaknya supporter sepak bola.
“Semangat
bener, hahaha” Dia tertawa sambil mengusap-usap poniku
yang kemudian diiringi melingkarkan tangannya di bahuku. Aku merasa dicintai.
Ah, perasaan apa ini.
Sesampainya di rumah
makan sederhana, tersajikan dua porsi udang bakar manis dengan nasi di dalam
bakul yang sudah kami pesan 15 menit sebelumnya. Kami membicarakan banyak hal,
mulai dari hal yang kurang penting hingga gak penting banget pecah jadi satu
terbungkus rapi bersama gelak tawa, dan beberapa potongan senyum-senyum merah
jambu yang tersembunyi di balik kecapan kalimat manis. Aku benar-benar kenyang;
kenyang perut, kenyang hati. Semesta seakan milikku hari itu.
Dua bulan sudah berada
di Jogja, setiap tempat, setiap gerak, setiap tutur yang teruntai bersamanya
terjahit rekat bersama waktu, telah berhasil melekat di selaput otakku, menjadi
rajutan memori yang tersimpan rapi. Menunggu untuk diulas kembali, di rentang
pertemuan berikutnya. Iya, dia harus kembali ke Malang.
Jangan ditanya
perasaanku, sudah pasti lebam dipukul kenyataan bahwa kita harus berpisah. Aku
ingin sekali mengatakan aku mencintainya, aku ingin mengikatnya sebagai
kekasihku. Tapi bibir seakan terkunci rapat ketika dia memelukku erat. Semoga
dia tahu apa yang aku rasa meski aku belum mengatakannya. Aku berharap dia
tidak berubah, tetap mencintaiku. Pelukan itu bak perjanjian yang telah
disepakati dengan mesin waktu, bahwa kami pasti bertemu kembali, entah kapan,
tapi pasti. Aku percaya. Salah satu alasan untuk menyederhanakan
pertanyaan-pertanyaan dari otakku yang enggan membiarkannya pergi. “Gie, Jangan berubah.” Batinku sambil
menghela nafas panjang.
***
Jam menunjukkan pukul 7
malam kurang sepuluh menit. Aku menunggu di salah satu kedai Coffee Shop di Malang. Aku sengaja datang
setengah jam lebih awal dari waktu janjian kami. Selain karena rindu, aku
memang ingin merasakan bagaimana rasanya menunggu Nugie karena selama aku
mengenalnya dia selalu menungguku. Kedua jari telunjukku tak henti-hentinya menciptakan
suara dentuman diatas meja tempatku menunggu. Setiap detik sangat kunikmati.
Iya, ada semacam perasaan debar bertaut dengan detik jarum jam berlari-lari di
hatiku untuk sekedar mengatakan “Sabarlah
hati, tagihan rindumu akan dibayar lunas sepuluh menit lagi”. Tak lama
kemudian lelaki dengan kemeja garis-garis warna biru mendatangiku. Senyum sumringah tercipta
didetik berikutnya. Tak ada yang berubah, dia masih sama seperti terakhir kita
bertemu. Guratan senyumnya pun masih sama. Ah, Pemangkas kataku sudah hadir.
Pelabuh rindu.
“Udah
dari tadi ya?” Kalimat pertama yang diucapkannya
kepadaku langsung ku jawab “Nggak kok,
santai aja” sembari merampas tatapannya kearahku. Aku seakan tak mau
kehilangan tatapan itu. Iya hati, kali ini aku tak akan membiarkannya pergi
lagi.
“Mau
minum apa?” dia bertanya sambil membuka daftar menu
yang aku hiraukan semenjak duduk di kursi sedari tadi.
“Coffee
Latte, as usual” Jawabku.
“Oke”
Katanya.
“Kok
jadi tegang gini yah?” Aku tersenyum ke arahnya.
“Hahaha”
Gelak tawa renyah itu kembali terdengar di telingaku. Hatiku seakan kegirangan
karena rindu mulai terbayar.
Kami pun terlibat
percakapan yang cukup serius tentang pekerjaan dan ada beberapa guyonan sebagai penyeimbangnya. Dia
menatapku pekat, kemudian memalingkan wajahnya.
Lima belas menit
kemudian ada seorang perempuan cantik dengan vintage dress nya menghampiri meja kami. Dia tersenyum kearahku
sembari menyodorkan tangannya.
“Hai,
aku Tasya”
“Oh,
iya. Aku. Adhira. Panggil. Aja. Dhira” Jawabku terbata-bata
karena linglung melihat kedatangannya.
Perempuan bermata indah
dengan lesung di bagian kiri pipinya memperkenalkan diri kepadaku. Senyumnya
begitu menawan. Otakku dipenuhi kegusaran, jutaan pertanyaan mampir di sel
otakku. Kali ini kepalaku benar-benar cerewet, melebihi omelan bos ketika
majalah sudah dikejar deadline.
Sebentar, “kenapa dia disini” pikirku
dalam hati. Bukan, maksudku aku tidak mengharap kedatangannya. Ternyata Nugie
tidak hanya janjian denganku hari ini.
“Dhir,
ini partnerku Tasya.” Kata Nugie
Plong!
Batinku.
“Dia...”
Nugie melanjutkan kalimatnya sambil menatap Tasya dengan... Apa? Dengan binar
mata yang seakan menyimpan sesuatu yang aku kenal baik apa itu namanya.
“Haha. Gie, ini si Dhira yang sering kamu
ceritain? Cantik” Kalimat Nugie diambil alih Tasya dengan sangat manisnya.
Iya, manis. Tasya duduk perlahan di kursi dekat Nugie dengan cara yang manis.
Terlihat dia terdidik dengan pendidikan yang sangat baik. The way she treats herself is awesome.
Aku terkesima hingga
telat menjawab pujian Tasya. Jelas jauh sekali dengan apa yang dikatakan Tasya.
Aku biasa saja, tidak terlalu cantik. Iya, untuk ukuran seorang fashion editor memang aku berada di line paling bawah. Bos mempekerjakanku
mungkin karena kemahiranku mengolah kata instead
of how am I looking like.
“Oh. Kamu bisa aja, Sya. Cantikkan
kamu lah hehe” Jawabku dengan perasaan tak menentu.
Kemudian
kami bertiga terlibat dalam topik yang cukup menyita pemikiran, Investasi masa
depan. Tasya, Nugie, dan aku meramu topik ini selama beberapa menit kedepan. Hingga
di menit selanjutnya, mereka berdua seakan mengambil alih topiknya sendiri
seperti lupa bahwa aku juga berada disana. Errr... Rasanya ingin menggebrak
meja. Haloooo...I’m here, guys! Don’t you
look at me? Jadi, aku harus melihat mereka berdua bersaut-sautan tawa di
depanku sedang aku harus menelan kecewa sembari meneguk habis cemburu. Iya, aku
cemburu.
Terlihat
Nugie mengobrol asyik dengan Tasya sambil sesekali meringis menahan sakit di
perutnya. Sepertinya dia ingin muntah karena alergi dengan serbuk mint yang ada di minuman yang dia pesan
tadi. Sudah lama Nugie alergi dengan mint
dan ketidakjeliannya kali ini tak bisa ditawar lagi. Dia keliru memesan minuman
kali ini. Akupun ijin pergi dari mereka berdua untuk pergi sebentar.
Sekembalinya
aku dari apotek membelikan Nugie obat pereda sakit, mereka berdua sudah tidak
ada. Ponselku berbunyi.
Beep
beep
Sender: Nugie
08819117631
Dhir, kamu
kemana? Lama banget. Aku pikir ke toilet. Maaf, aku pulang dulu bareng Tasya
soalnya tadi minumanku ada mint-nya. Kau tahu kan aku alergi mint. Aku temui
kamu besok ya. I miss you.
JLEB!
Hatiku remuk membaca pesan singkat dari Nugie. Kemudian pesannya
aku balas.
Iya, gpp.
Tadi aku ke apotek beliin kamu obat, aku tahu kamu alergi mint. Take care
yourself. :*
Sent
Semesta, konspirasi
macam apa yang kau ciptakan kali ini? Aku kesal setengah mati. Miris diledek
situasi. Sudah bertemu dengan yang dimau tapi belum mengungkapkan rindu. Jam
menunjukkan pukul 10 malam. Aku bergegas kembali ke kost ku. Namun, ponselku
berbunyi lagi.
Beep
beep
Sender: Nugie
08819117631
Aku perlu
bicara denganmu. Kita
perlu bicara. Oiya, secangkir coklat panas baik untukmu malam ini. Jangan lupa
minum ya. See you tomorrow. :)
Ah, Nugie. Bagaimana bisa kau tahu
bahwa perasaanku sedang tak karuan dan aku memang membutuhkan penenang seperti secangkir
coklat panas.
Iya. I will.
I do really need to talk to you. :)
Sent
Entahlah. Aku memasuki
kamar kost ku dan melihat Mira sudah tertidur dengan pulasnya. Padahal aku
ingin curhat. Ya sudah, segera memejam agar bisa menemui Nugie. Pikirku.
***
Pagi. Nugie menemuiku
pagi sekali. Kantor masuk jam 8 pagi, sedang ini masih jam 7 dan kami sudah
ketemuan disini. Didepan kost ku.
“Kamu,
apa kabar?” Sapanya pagi ini.
“Hoahm...apa
sih, seperti baru ketemu aja.” Jawabku sambil
menguap. Aku masih menggunakan piyama baju tidurku saat itu, aku tak pernah
merasa nyaman bertemu dengan orang setiap bangun tidur apalagi belum mandi.
Tapi ini tidak berlaku untuk Nugie. Karena aku selalu merasa nyaman dalam
keadaan seperti apapun dan bagaimanapun.
“Dhir,
aku kangen kamu” Dia menatapku sambil memelukku erat.
“Akupun”
Jawabku dalam pelukan Nugie.
“Aku
perlu membicarakan yang kemarin” Imbuhnya sambil melepas
pelukannya.
“Ah
lupakan, santai aja. Gak apa-apa kok. Soal Tasya,...”
jawabku dan kalimatku pun dipotong Nugie.
“Iya,
maksudku dia.” Nugie melanjutkan kalimatku.
“Udah
ah. Tenang, aku gak cemburu. Aku sayang kamu.”
Aku senyum kearahnya sambil sekali lagi memeluknya erat.
“Kita
jadian aja yuk, Gie!” Akupun memberanikan diri mengatakan
kalimat ini dalam pelukannya.
“Maaf,
gak bisa Dhir.” Jawab Nugie.
Aku melepas pelukanku
dan menatapnya serius.
“Kenapa?”
“Aku..”
“Kamu
udah gak sayang aku?”
“Dhir,
aku sayang kamu. Tapi kamu perlu tahu, aku gak bisa.”
“Maksudmu?”
“Kita
temenan aja ya. Aku sayang kamu sebagai teman.”
Kalimat Nugie
benar-benar seperti halilintar di pagi hari. Aku seakan dijatuhkan dari langit
ke tujuh. I’m falling to pieces.
“Aku
akan menikah”
“Apa?”
“Dengan
siapa?”
“Tasya”
“Tapi,
katamu dia partner mu?”
“Iya, partner hidupku. Aku
menunggumu cukup lama Adira Khairina Pramesti. Aku lelah. Aku menyerah.
Bertahun-tahun aku menunggumu tapi kau tak segera memberi kepastian kepadaku.
Aku menyerah pada waktu, hingga Tasya datang menyelamatkan hatiku.”
Nugie pun memelukku
erat sambil berkata “Kamu baik, kamu pasti
dapat orang yang baik pula.”. Akupun mematung tanpa berkata apa-apa. Bising
suara knalpot motor lalu lalang di depan kost ku menjadi nada tak beraturan
dalam hatiku. Aku masih berdiri. Nugie pun pamit pergi dan meninggalkanku;
meninggalkan kost dan hatiku.
Sepuluh menit kemudian.
“Lo
udah bangun, Dhir?” Rara mendekatiku sembari menyodorkan
kertas persegi panjang yang bertaburan hiasan glitter dan tertulis dengan font
yang indah. Air mata yang tertahan dipelupuk pun jatuh, tanda kekecewaan yang
menumpuk. Di kertas itu tertulis jelas nama Nugie Adyaksa Putra dan Kamalia
Tasya Anggraeni yang akan menikah terhitung sepuluh hari dari sekarang.
“Eh,
lo kenapa nangis?” Tanya Mira
“Ra....”
Aku memeluk erat Mira dan menangis sekencangnya.
“Kamu
kenapa. Dhira?”
“Aku
melewatkannya, Ra.”
partner.... hidup ternyata n_n"
ReplyDeleteah terima kasih sudah baca :)
ReplyDelete