Wednesday, August 8, 2012

Gadisku, Gladys

“Nih, bab I udah aku selesaiin semalem” aku datang menghampiri seorang gadis yang duduk di depan kelas sambil menyodorkan flashdisk kearahnya.
“Um.. oh, oke deh” jawabnya pelan sambil menunggingkan senyum diwajah, seketika kedatanganku telah membuyarkan lamunannya dan membawanya kembali kedunia ini.
“Sumpah ya, tugas banyak banget semester ini. Yang satu belum selesai udah nyusul aja tuh temen-temennya ngantri buat dijamah. Tau gini, dulu gua cuti aja kali ya semester ini, dan nyari kesibukan lain sapa tau dapet duit dan itung-itung nyari suasana baru...bosen gue tiap hari mantengin laptop buat nyusun makalah, dan...” Aku menghentikan ocehanku, kemudian menengok kearahnya yang sedari tadi mantengin layar handphone.
“Lo nunggu telfon?”  tanyaku padanya. Dia kembali menengok kearahku  dan masih diiringi senyum ala kadarnya menjawab “Ah...nggak, cuman nunggu sms aja”, “Oh ya, ntar tugas ini cuma sampai bab III kan?” tanyanya seakan mengalihkan perhatian.
“Katanya Pak Abraham sih gitu” jawabku singkat.
“Lo nunggu telfonnya siapa? Wisnu?” tanyaku ingin tahu.
“Iya”
“Emang ada apa?”
“Enggak kok”
“Ada apa dys? Udahlah cerita aja uwuwuwuwuwu” ucapku sambil menarik kedua pipinya.
“Ih Bagas, lo selalu aja gitu”
“Udah cepetan”
“Mm..semalem aku nelfon Wisnu sekitar jam 1an sepulang dari kafe, kayaknya pas aku telfon dia lagi bener-bener gak sehat deh. Suaranya terdengar berat, katanya sih lagi kena radang tenggorokan. Dia juga terdengar kecapekan soalnya dari cara bicaranya males-males an gitu, yaaa aku suruh aja dia istirahat sampai kondisinya membaik” jelasnya kepadaku.
“Ya lo jenguk aja, beres kan?”
“Iya sih, Mmm...” Gladys terlihat memikirkan sesuatu.
“Nah lo, trus apa masalahnya?”
“Beberapa minggu ini komunikasi kita kurang begitu baik gas, lo tau kan gua punya kerja part time yang hampir merenggut waktu ketemuan gua ma Wisnu”
“Jadi?”
“Gak tau deh gas, gua galau. Wisnu juga lagi sibuk ngurusin skripsinya, gua yang notabene mahasiswi super sibuk juga gitu, selain kerja part time di dua tempat yang berbeda, masih juga disibukkan dengan setumpukan list tugas yang membebani otak. Alhasil gua gak bisa konsen di salah satunya”
“Lo juga sih, makanya lo tu harus tau kodrat lo sebagai ma-nu-si-a bukannya robot. Lo pikir kalo udah ditekan tombol ON pas lo bangun tidur, lo bisa nglakuin apa aja selayaknya robot dan berhenti pas tombol OFF ditekan? Gitu? Balik ke kodratnya lah, lagian manusia punya hati Gladys, apalagi kita hidup gak sendiri kita juga harus ngurusin, eh peduli lebih tepatnya dengan hati orang lain, contohnya peduli ke Wisnu. Kasih kek waktu buat diri lo sendiri mikirin hal itu dan orang-orang yang lo sayang” ucapku dengan semangat 45. Aku cenderung cerewet bak perempuan ketika bersamanya, entahlah tapi semua hal tentang hidupnya berarti bagiku.
“Hmm, (menghela nafas panjang dan menghembuskannya pelan) iya, beberapa hari ini gue mikirin itu juga kok. Semenjak bokap bangkrut dari usahanya gue belajar mandiri buat gak minta uang kuliah ke ortu sih, dan sekarang gue bener-bener butuh istirahat deh. Paling gue bakal resign dari salah satu kerja gue jadi waiters dan bakal mempertahanin kerjaan gue yang lain buat nulis artikel, yah jadi free writer cukup lumayan lah buat nambahin pundi-pundi uang gue, setidaknya masih bisa bertahan buat biaya kampus” jelasnya lagi.
“ Puk-puk” aku menepuk bahunya dengan senyum seenggannya seraya berkata “Bener-bener dah kisah lo udah layak masuk di program TV Perjuangan Hidup, salut deh”
“Sial! Lo pikir gue bakal mengekspos kesengsaraan gue di layar tivi lo?” ... BBUGG!!! (Gladys memukul lenganku dengan tas nya)
Gladys, dia adalah sahabatku. Ya sahabat baikku, kami bersahabat sudah tiga tahun semenjak semester 1 dan sering berbagi dalam segala hal, tepatnya kita “ada” untuk satu sama lain. Hari itu dia terlihat murung dan aku berusaha untuk menghiburnya, masih seperti biasa  Wisnu si pemain alur dalam pikirannya seakan mengambil peran penting di otaknya lebih dari mata kuliah Pak Abraham.
***
Hampir setengah jam gue berdiri dikoridor jalan arah ke toilet, tapi nyokap belum juga keluar dari toilet. Hari minggu ini gue habiskan buat nganterin nyokap belanja di salah satu pusat perbelanjaan di ibukota, dan bisa di bayanginlah gimana repotnya ibu-ibu pas belanja. Akhirnya gue putusin untuk lebih peduli dengan timeline gue, sedari tadi gue ngakak baca mention-mention tanpa peduliin kaum hawa yang mondar-mandir lewat depan gue untuk pergi ke toilet. Hingga dari jarak 5 meter terlihat jelas sosok lelaki yang ku kenal sedang bercumbu mesra dengan kekasihnya, Ia mengantarkan si cewek yang bergelayut mesra dibahunya ke arah toilet. Kumasukkan BB-ku dan tanpa pikir panjang ku hampiri lelaki itu sembari memberinya satu pukulan tajam tepat ke wajahnya, bahkan lebih dari itu ingin rasanya kubunuh saja dia tanpa ampun. Ya, lelaki itu adalah Wisnu, kekasih Gladys yang sudah seminggu tak menghubungi sahabatku dan sekarang berdiri didepanku bersama gadis lain.
(Wisnu terjatuh ke lantai akibat pukulan yang kudaratkan ke wajahnya)
“Gas, lo ngapain disini?” Tanyanya padaku dengan muka kebingungan sambil melepaskan genggaman tangan cewek disampingnya. Tak ku pedulikan pertanyaannya dan langsung kudaratkan pukulan keduaku ke perutnya.
“Aaaaaaaaaaaaaa..................” gadis disamping Wisnu teriak ketakutan dan menjauh pergi.
Wisnu berdiri sempoyongan menahan rasa sakit dan menatapku sambil berkata “.... Bentar Gas, gue bisa jelasin....” bak kerasukan setan, aku benar-benar ingin membunuh Wisnu. Kutarik Wisnu berdiri dan siap melayangkan pukulan ketigaku, tapi kuurungkan niatku dan perlahan mengendalikan emosi yang memuncak dijiwaku.
“Shit! Gue gak butuh cerita basi lo, Anjing lo.. JAUHIN SAHABAT GUE ATAU GUE KUBUR LO HIDUP-HIDUP BARENG SAMA DOSA-DOSA LO!!!!!” Ucapku pada Wisnu penuh emosi, kemudian melangkah pergi sebelum kesetanan dan benar-benar akan membunuh Wisnu tanpa ampun. Pikiranku mulai menuju Gladys, entah apa yang akan kukatakan padanya. Aku tak sanggup mengatakan kebiadaban Wisnu padanya, namun ku juga tak rela sahabatku bersama lelaki bajingan seperti Wisnu.
***
*Seminggu berlalu*
“Kyaaa.... gue seneng banget! Hari ini Gagas Media ngubungin gue dan bilang kalau cerpen gue bakalan dijadiin novel dan lo tau gak sih kalau gue bakal dikontrak buat jadi novelis tetap! Itu tandanya gue dapat job yang ehem banget gak sih????Hehehe” Ucap Gladys terengah-engah lari ke kantin menghampiriku untuk memberitahukan berita baik.
Seminggu sudah kami jarang berbincang-bincang karena banyaknya tugas-tugas kampus dan sibuknya Gladys ngurusin kerja part-timenya. Meskipun demikian, kita tetap BB-an dan tak jarang saling tegur sapa ketika Gladys pulang dari tempat kerjanya. Hal itu karena kami tetanggaan, rumah kami yang cuma beda 3 nomor. Gladys yang bukan orang asli Jakarta, mengontrak rumah yang tak jauh dari rumahku selagi kuliah di Jakarta.
“Wihh keren banget” jawabku ikut senang
“Gue traktir makan deh lo”
“Oke deh,... Bang, nambah 1 porsi lagi ya!” aku berteriak ke arah penjual bakso di kantin seakan meng-iya-kan traktiran Gladys.
Kami berbincang-bincang mengenai novel yang akan di tulis Gladys, membicarakan prospek kerja, membahas tugas kampus, membicarakan semua hal dari yang penting, kurang penting hingga gak penting pun tumpah jadi satu di kantin sore itu. Hingga pada akhirnya, Gladys bercerita mengenai Wisnu.
“Gue juga udah dapat ucapan selamat dari Wisnu, bahkan ntar malem kita bakalan ngrayain hal ini” cerita Gladys penuh semangat “Seneng banget, hidup gue serasa lengkap. Gue kerja di bidang yang gue suka, Nulis! Sejalan dengan jurusan gue sebagai mahasiswi Sastra Bahasa Indonesia, Gue punya cowok yang support dan ada buat gue, terlebih gue punya sahabat kayak elo. Duh, Lucky me!” imbuhnya
“Dheg!” Jantung seakan copot mendengar Gladys menyebut nama Wisnu, sejak kejadian gue mukul Wisnu gak sekalipun gue nanya kabar si bangsat itu ke Gladys, bahkan sepertinya Gladys tak tahu kalau cowoknya selingkuh dibelakangnya. “Selamat ya” hanya kalimat itu yang bisa ku katakan padanya, tak mungkin ku merusak suasana hatinya dengan mengatakan apa yang dilakukan Wisnu dibelakangnya. Hatiku hancur, tiba-tiba perasaanku merasa bersalah dan bahkan aku sulit mengartikannya. Hanya aku tidak suka jika alasan senyum Gladys bukan aku melainkan si brengsek Wisnu.
***
Gladys
089127736xxx
Jemput gue di RS. Medika Husada, sekarang bisa gak? Udah malem, gue gak berani naik bus TransJakarta :(
Pesan Gladys ngebangunin gue, jam menunjukkan pukul 2 dini hari. Mengumpulkan nyawa dari tidur lelapku kemudian bergegas ke garasi mengambil mobilku dan meluncur ke Rumah Sakit. Aku bingung, apa yang di lakuin Gladys malem-malem di rumah sakit dan bukankah dia sudah terbiasa pulang larut malam ketika pulang kerja, kenapa dia tiba-tiba menghubungiku dan meminta untuk menjemputnya. Sesampainya di rumah sakit, aku mengirim pesan menanyakan dimana keberadaanya. Dan lagi, aku dibuatnya terkejut. Gladys menangis sesenggukan di pintu masuk ruang ICU. Aku berlari kearahnya dan menanyakan apa yang sedang terjadi, ternyata Tante Ratna, ibu Gladys sedang dirawat dirumah sakit akibat tumor ganas di otaknya. Aku mengantar Gladys pulang dan hanya mendengarkan curhatannya di mobil tanpa bertanya lebih jauh, aku takut membuatnya lebih sedih lagi. Betapa malangnya Gladysku, entah apa yang ada di pikiranku, tapi aku benar-benar mencintai gadis ini dan ingin selalu melindunginya, bersamanya. Ah mungkin rasa iba ku yang terlalu berlebihan hingga terbesit pikiran seperti ini. Tuhan, apa mungkin aku mencintainya?
***
Berbulan-bulan aku dihinggapi perasaan tak menentu, wajah Gladys hampir tiap malam mengisi pikiranku mengobrak-abrik perasaanku dan semakin sering aku bersamanya semakin aku tidak bisa menghindar bahwa aku terjerat oleh cinta pada gadis ini. Aku belajar untuk melupakannya, aku sadar ini bukan cinta namun perasaan sesaat dan pasti berlalu. Ya, aku tahu itu.
“Gas, tadi malem nonton tivi gak?” tanya Gladys kepadaku. Kami berdua sedang di perpustakaan mengerjakan pekerjaan kelompok, tentu dia satu kelompok denganku karena sulit bagiku jauh darinya. Aku terpikat sudah olehnya.
“Acara apaan?” tanyaku
“Lo gak tau? Semalem ada pemilihan miss Universe gitu, juaranya dari Afrika. Siapa ya namanya, ah lupa aku. Kulitnya eksotis coklat2 gimana gitu. Pengen deh kayak gitu. Masa lo gak liat? Rugi! Semalem bajunya seksi2 lo... hahaha” Jawabnya disertai ledekan kepadaku
“Duh, rugi berat gue... Hmm, gue sih lebih suka Miss World. Hahahaaha” Balasku
“Cantik-cantik ya?” tanyanya
Mendengar kata “cantik” mataku tertuju pada Gladys. Hari itu, rambut panjangnya terurai  dengan kedua bola mata yang indah sedang menatapku. Jantungku berdegup kencang, kemudian Gladys tersenyum dan lesung pipi yang muncul di wajahnya itu membuatku.... “Cantikan lo lagi” etdah tiba-tiba kalimat itu keluar dari mulutku, Ya Gladys memang cantik tapi entah mengapa hari itu aku benar-benar mengagumi kecantikannya.
“Ah elo mah gitu kalau pengen ngehina, hina aja jangan gitu.. hahaha” ucapnya dengan malu-malu
“Beneran kok dys, elo emang cantik. Cantik kalau sendiri. Buahahahahaha” Jawabku seakan menyembunyikan perasaanku.
Oh Tuhan, aku jatuh cinta. Ya, aku mencintainya dan aku ingin dia tahu apa yang aku rasakan. Apa harus aku mengatakannya? Aku benar-benar dilema. Dia masih berpacaran dengan Wisnu, haruskah aku merebutnya? Wisnu, meskipun aku telah memberikan kesempatan kedua untuk bersama sahabatku, meninggalkan selingkuhannya, dan lebih mempedulikan Gladys sekarang namun tetap aku ingin dan sangat ingin mengatakan “aku mencintaimu,dys"
***
Sudah sangat lama sekali, aku harus menyembunyikan perasaanku pada Gladys. Kita selalu bersama, frekuensi pertemuan yang sering bahkan Gladys lebih sering bersamaku daripada dengan Wisnu. Aku benar-benar tersiksa, dan hari ini dengan tekat yang bulat kuputuskan untuk mengatakan padanya bahwa aku sangat mencintainya. Toh, mencintai seseorang itu bukanlah hal yang salah kan, batinku.
“Dys, ntar malem temenin gue nonton yuk? Lo tau kan gue jomblo. Ada film bagus en gue gak mau aja nonton sendiri” Pintaku kepada Gladys ketika kami keluar dari kelas selesai kuliah
“Makanya cari cewek Gas, hehe. Oke deh. Apa sih yang enggak buat kamu” Jawab Gladys sambil memonyongkan bibirnya kearahku. Damn! Melihat Gladys yang seperti itu, ingin rasanya ku kecup bibirnya. Ah sial, gue dikuasain nafsu.
“Jangan monyong gitu ah dys, gue cipok lu ntar” jawabku
“Idih, noh lo cipok!” jawab Gladys sambil menunjuk tempat sampah kalau-kalau gue pengen nyipok.
***
“Yah, jakarta selalu aja gini. Macet! Bosen banget gue”
“Udahlah, sabar aja gas”
Setengah jam kami terjebak macet dan hujan tiba-tiba turun. Di dalam mobil kami hanya berbicara hal-hal yang gak penting. Bahkan aku tidak peduli lagi tentang film yang akan kami tonton. Tiba-tiba mata Gladys tertuju kearah pojok kiri jalan di luar mobil. Wajahnya pucat, terdiam tak lama kemudian ia menangis. Ketika aku melihat apa yang Gladys lihat, aku terkejut dan tak bisa berkata apa-apa. Aku memutuskan keluar dari mobil, namun Gladys menahanku sambil menangis. Aku tak bisa menolak permintaan gadis pujaanku meskipun hatiku remuk redam. Kami melihat Wisnu yang sedang mencium mesra seorang gadis, gadis yang sama yang ku temui dulu.
“Dys, lo gak apa-apa kan?” Tanyaku padanya meskipun aku tahu perasaannya.
“Kita pulang aja yuk gas” Jawab Gladys pelan
“Oke” Aku berputar arah dan kembali pulang. Akhirnya kami tidak jadi pergi nonton, dan sedihnya aku tidak jadi mengungkapkan perasaanku ke Gladys. Oh Tuhan, sakit hatiku. Tapi aku tahu rasa sakitku tak sepadan dengan apa yang dirasakan gadis disampingku ini.
Sesampainya dirumah, Gladys turun dari mobil dan aku berusaha menenangkan perasaannya.
“Dys, please, apapun yang lo rasa, jangan takut lo masih punya gue buat numpahin unek-unek lo. Dan kalau lo pengen mukul orang, lo pukul aja gue gak apa-apa. Yang jelas, gue gak mau lo sedih dan nglakuin hal buruk buat diri lo sendiri” Kalimat-kalimat basi ini aku harapkan bisa menyadarkan Gladys kalau gue ada buat dia. Tiba-tiba Gladys meluk gue erat dan nangis. Rasanya ingin sekali gue bunuh Wisnu, gadis pujaanku menangis dalam pelukanku karena dia, lelaki brengsek yang seharusnya sudah gue bunuh sejak dulu.
“Gue udah tahu dari dulu gas” Ucap Gladys dalam isak tangisnya
“Maksudnya?” tanyaku bingung
“Gue udah tahu kalau Wisnu selingkuh sejak 6 bulan yang lalu, telfon gue sering diangkat suara cewek, BBM gue sering gak di bales, gue sengaja nutupinnya dari elo. Gue hancur gas, tapi gue sengaja pura-pura gak tahu dan nyibukin diri gue ke kerjaan, gue gak konsen kuliah, gue sebenernya gila gas, gue pura-pura waras aja selama ini. Gue gila, gue gak terima dengan kenyataan. Bokap kehilangan pekerjaan, Nyokap koma di rumah sakit dan Wisnu satu-satunya harapan gue selingkuh gara-gara kesibukan gue kerja yang sering ngelupain dia. Itu wajar gas sebenernya dilakuin sama Wisnu. Gue udah pura-pura gak tahu. Gue hanya gak terima dengan semuanya, Gas” Jelas Gladys yang semakin erat memelukku.
Perasaanku campur aduk mendengar penjelasan Gladys, aku semakin sakit mendengarnya. Bagaimana mungkin aku membiarkannya melalui hal ini semua sendiri tanpa sepengetahuanku. Aku sakit, sangat sakit.
“Dys, elo gak sendiri. Elo punya gue, gue ada buat elo. Kenapa lo nyimpen semuanya sendiri?”
“Gue Cuma....” Gladys melepas pelukannya dan menatapku dengan mata sembabnya.
Tanpa pikir panjang ku kecup bibirnya, dan membiarkannya menangis dalam pelukanku.
“Gue sayang lo dys, Gue cinta sama lo. Maaf, gue gak pernah berani ngomong ini dari dulu ke elo. Maafin gue!” Ucapku padanya.
Gladys menatapku dengan mata berkaca-kaca seakan tak percaya dan terkejut.
“Lo suka sama gue? Kenapa gue gak tahu Gas? Kenapa gue gak nyadarin hal itu? Gladys semakin erat memelukku.
“Maaf, aku terlalu naif. Pecundang yang tak berani mengakui perasaannya sendiri”
“Gas, elo gak salah..., Cinta gak pernah salah...” isak tangis Gladys membuatku tak berdaya. Aku sangat mencintainya. Ya, aku sadar ini cinta.
“Udah jangan nangis, sayang” Ucapku sambil mengecup keningnya.
“Apaan sih lo panggil gue sayang?” Gladys berhenti menangis dan menatapku “Gua bukan cewek lo kali” imbuhnya sambil tersenyum kecut
“Terserah lo! Kalaupun lo tolak gue tetep maksa, gak akan gue lepasin lo! Gue sayang lo, Gue cinta lo dan akan melindungi elo!” Jawabku dengan tegas. Gue yakin Gladys akan mencintai gue, ini hanya masalah waktu, karena gue sangat mencintainya.
“Ah lo Gas, tukang maksa!” jawabnya
“Biarin! Gak akan gue lepasin elo dys. I Love You!” Akhirnya dengan lega kalimat ini ku ucapkan padanya.
Gladys pun tersenyum padaku. Kami melebur bersama waktu. Ku biarkan hembusan angin dan rintik hujan malam itu membasahi kita. Kita sama-sama terluka, menyembunyikan perasaan yang sebenarnya. 
__End__

@dewisuryaflo


No comments:

Post a Comment