Sunday, May 5, 2013

Melewatkanmu


             












               Awan sedang cemberut, parasnya terlihat suram dan berkabung. Terlihat kumulus yang enggan pergi di sana. Benar saja, tak lama kemudian kurang lebih 600 liter air laut ditumpahkan dari sana pula. Terik panas matahari tadi siang telah di bayar lunas oleh hujan sore ini. Aku menengok ke jam tangan sesekali, berteduh di halte bus sembari menengadahkan tangan ke rintik hujan yang semakin deras.
“Harusnya jam segini bus sudah lewat untuk menjemputku” batinku disertai gundah karena sendirian menunggu bus di bawah air hujan. Blazer yang kukenakan mulai basah karena cipratan air hujan. Deras hujan semakin menakutkan, apalagi sesekali halilintar muncul bersaut-sautan di atas halte bus. Hectic hujan mulai terendus, tanah gersang yang disapa hantaman hujan perlahan mengeluarkan aroma petrichornya. Kemudian smartphone-ku berbunyi.
Beep beep
Sender: Nugie
                          08819117631
  Dhir, kamu pulang duluan? Masih di halte bus kan? Gue samperin ya. Tunggu  bentar.
Sesegera mungkin aku balas pesan singkatnya.
Damn! “Your message is failed”.
                        “I’m at a payphone trying to call home
 All of my change,...”
Tak lama kemudian, smartphone-ku berbunyi lagi. Lantunan Payphone Maroon5 mengagetkanku.
Nugie is calling you...
“Halloo...”
“Gie, Iya! Jemput gue. Sekarang ya! Gue takut sendirian di sini, cepetan ya!” suara Nugie langsung ku potong dengan suara diktatorku yang tergesa-gesa kemudian tanpa basa-basi ku tutup telfonnya.

Tak lama kemudian Black Beige Scooter berhenti di hadapanku bersamaan dengan lelaki berkemeja fanel, berperawakan sedang, dan membawa payung menjemputku. Iya, lelaki itu adalah Nugie, rekan kerjaku di kantor.
            Mungkin beginilah cara Tuhan menyentilku yang jarang mensyukuri nikmat-Nya. Hampir setiap pulang kerja sore hari memang aku selalu bareng Nugie, hanya saja beberapa minggu terakhir ini aku mengurangi frekuensinya. Bukan hanya karena rasa nggak enak ke Nugie, tapi rasa nggak enak banget yang selalu nebeng bareng dia. Tapi anehnya, setiap aku pulang sendiri selalu ada hal buruk yang menimpaku, di ganggu orang gila di halte, kecopetan di bus, dan terakhir bus nya ganti ban di jalan adalah beberapa contohnya.
Nugie pun datang dan mengantarku pulang. Selama perjalanan seperti biasanya, dua belas hingga tiga belas kalimat menjadi dialog kami dengan topik yang hampir sama. Ah Nugie, 3 tahun cukuplah aku mengenal kepribadianmu. Selain sebagai sahabat yang rajin mendengar celotehan satu sama lain, kita juga pembicara yang baik.
***
            “Bareng Nugie lagi, Dhir?” suara di balik pintu kamar kost ku yang tak asing di telinga. Mira, teman satu kamar kost ku datang menghampiri sembari membawa dua mangkok mie ayam yang dia beli di Pak Mono, penjual mie ayam di depan kost langganan kami. Tanpa pikir panjang, kuambil mangkok di tangan kanannya dan dengan sigap melahapnya.
“Hmm, mie ayam Pak Mono memang paling juara deh”  kataku sambil terus mengunyah mie.
“Kenapa kalian gak jadian aja sih?”  Tanya Mira kepadaku.
“Siapa? Nugie?”  lirikku ke Mira.
“Iya. Siapa lagi? Kalian udah lama temenan, sama-sama jomblo. Nugie anak yang baik, pinter udah jelas. Dia selalu jadi andalan bos mu di setiap presentasi meeting. Kalau tampang sih, cakepan Nugie dikit deh dari cowok gue hahaha, dan lagi...”
Kalimat panjang Mira berhenti ketika ku arahkan sendok makanku ke wajahnya.
“Ra, Kita cuma temenan. Oke?”  jawabku sembari menunggingkan senyum “Iya sih dia baik” imbuhku.
“Lo gak friendzone-in dia kan? Jahat lu!”  Kata Mira dengan wajah serius.
“Taelah! Ya enggaklah, Ra. Kita murni sahabatan, lagian gue bukan tipenya Nugie.”
“Emang udah nanya?”
“Enggak. Gak pernah. Tapi dia pernah bilang suka yang kek Nabila Syakieb gitu hahaha” jawabku sambil meraih remote TV dan menyalakannya.
“Hahaha cowok gue juga suka Nabilah JKT48, gue mah biasa aja”  tukas Mira.
***
“Adhira Khairina Pramesti”
Suara nyaring lelaki yang sudah akrab ditelinga itu memanggil dari belakangku. Derap langkah sneakers nya kemudian menghampiri pojok kanan ruang kerjaku.
“Kita makan siang ditempat biasa kan?” Sapanya.
“Oke”
“Singkat banget jawabnya? Udah ah gak perlu dipikir yang semalem. I’m fine.” Tukasnya sambil nyengir ke arahku.
“Gie, aku..”
“Udah deh, biasa aja. Ditolak gak akan membuatku mati, bukan? Hahaha” Ucapnya memotong kalimatku disertai tawa renyah.
Akupun tersenyum kearahnya. Bukan, bukan aku tidak menyukaimu Nugie Adyaksa Putra. Aku bahkan menunggumu cukup lama untuk mengungkapkan kalimat itu padaku. Hanya saja aku takut kamu meninggalkanku. Sejarah percintaanku memang terburuk, selalu ditinggalkan ketika aku sedang cinta-cintanya. Aku hanya ingin menyederhanakan luka. Aku memilih untuk tidak memulainya lagi sebelum pertahananku kokoh agar tak mudah dihancurkan dan memasang filterisasi kualitas terbaik disana.
***
Beberapa bulan kemudian, hubungan kami semakin baik meski tanpa status yang pasti. Tiada hari tanpa kebersamaan. Selain 6 hari dalam seminggu berada di kantor yang sama, tak jarang kami menghabiskan weekend keluar kota bersama. Tuntutan pekerjaanku sebagai fashion editor majalah yang cukup terkenal di ibukota tempatku tinggal, Malang, memang mensyaratkannya. Hingga akhirnya, tugas ke Jogja dari bos yang sangat diharapkan pun datang juga. Kita berangkat kesana dengan semangat yang berkobar, dua hal yang perlu dicatat; Jogja yang indah dan Rekan kerja yang menggugah.
“Kita cari makan dulu ya nona manis?”
“Ah, kamu. Jadi, mau makan dimana kita?” Jawabku sambil memandang sekitar bak anak kecil yang baru pertama kali pergi ke toko mainan. Iya, pesona Jogja tak tergerus waktu.
“Mak Engking, gak jauh dari sini non. Di daerah Minggir, Sleman. Udang bakar madu nya juara banget” Katanya
“Let’s Go!” Jawabku dengan tanpa sadar mengangkat kedua tangan layaknya supporter sepak bola.
“Semangat bener, hahaha” Dia tertawa sambil mengusap-usap poniku yang kemudian diiringi melingkarkan tangannya di bahuku. Aku merasa dicintai. Ah, perasaan apa ini.
Sesampainya di rumah makan sederhana, tersajikan dua porsi udang bakar manis dengan nasi di dalam bakul yang sudah kami pesan 15 menit sebelumnya. Kami membicarakan banyak hal, mulai dari hal yang kurang penting hingga gak penting banget pecah jadi satu terbungkus rapi bersama gelak tawa, dan beberapa potongan senyum-senyum merah jambu yang tersembunyi di balik kecapan kalimat manis. Aku benar-benar kenyang; kenyang perut, kenyang hati. Semesta seakan milikku hari itu.
Dua bulan sudah berada di Jogja, setiap tempat, setiap gerak, setiap tutur yang teruntai bersamanya terjahit rekat bersama waktu, telah berhasil melekat di selaput otakku, menjadi rajutan memori yang tersimpan rapi. Menunggu untuk diulas kembali, di rentang pertemuan berikutnya. Iya, dia harus kembali ke Malang.
Jangan ditanya perasaanku, sudah pasti lebam dipukul kenyataan bahwa kita harus berpisah. Aku ingin sekali mengatakan aku mencintainya, aku ingin mengikatnya sebagai kekasihku. Tapi bibir seakan terkunci rapat ketika dia memelukku erat. Semoga dia tahu apa yang aku rasa meski aku belum mengatakannya. Aku berharap dia tidak berubah, tetap mencintaiku. Pelukan itu bak perjanjian yang telah disepakati dengan mesin waktu, bahwa kami pasti bertemu kembali, entah kapan, tapi pasti. Aku percaya. Salah satu alasan untuk menyederhanakan pertanyaan-pertanyaan dari otakku yang enggan membiarkannya pergi. “Gie, Jangan berubah.” Batinku sambil menghela nafas panjang.
***
Jam menunjukkan pukul 7 malam kurang sepuluh menit. Aku menunggu di salah satu kedai Coffee Shop di Malang. Aku sengaja datang setengah jam lebih awal dari waktu janjian kami. Selain karena rindu, aku memang ingin merasakan bagaimana rasanya menunggu Nugie karena selama aku mengenalnya dia selalu menungguku. Kedua jari telunjukku tak henti-hentinya menciptakan suara dentuman diatas meja tempatku menunggu. Setiap detik sangat kunikmati. Iya, ada semacam perasaan debar bertaut dengan detik jarum jam berlari-lari di hatiku untuk sekedar mengatakan “Sabarlah hati, tagihan rindumu akan dibayar lunas sepuluh menit lagi”. Tak lama kemudian lelaki dengan kemeja garis-garis warna biru  mendatangiku. Senyum sumringah tercipta didetik berikutnya. Tak ada yang berubah, dia masih sama seperti terakhir kita bertemu. Guratan senyumnya pun masih sama. Ah, Pemangkas kataku sudah hadir. Pelabuh rindu.
“Udah dari tadi ya?” Kalimat pertama yang diucapkannya kepadaku langsung ku jawab “Nggak kok, santai aja” sembari merampas tatapannya kearahku. Aku seakan tak mau kehilangan tatapan itu. Iya hati, kali ini aku tak akan membiarkannya pergi lagi.
“Mau minum apa?” dia bertanya sambil membuka daftar menu yang aku hiraukan semenjak duduk di kursi sedari tadi.
“Coffee Latte, as usual” Jawabku.
“Oke” Katanya.
“Kok jadi tegang gini yah?” Aku tersenyum ke arahnya.
“Hahaha” Gelak tawa renyah itu kembali terdengar di telingaku. Hatiku seakan kegirangan karena rindu mulai terbayar.
Kami pun terlibat percakapan yang cukup serius tentang pekerjaan dan ada beberapa guyonan sebagai penyeimbangnya. Dia menatapku pekat, kemudian memalingkan wajahnya.
Lima belas menit kemudian ada seorang perempuan cantik dengan vintage dress nya menghampiri meja kami. Dia tersenyum kearahku sembari menyodorkan tangannya.
“Hai, aku Tasya”
“Oh, iya. Aku. Adhira. Panggil. Aja. Dhira” Jawabku terbata-bata karena linglung melihat kedatangannya.
Perempuan bermata indah dengan lesung di bagian kiri pipinya memperkenalkan diri kepadaku. Senyumnya begitu menawan. Otakku dipenuhi kegusaran, jutaan pertanyaan mampir di sel otakku. Kali ini kepalaku benar-benar cerewet, melebihi omelan bos ketika majalah sudah dikejar deadline. Sebentar, “kenapa dia disini” pikirku dalam hati. Bukan, maksudku aku tidak mengharap kedatangannya. Ternyata Nugie tidak hanya janjian denganku hari ini.
“Dhir, ini partnerku Tasya.” Kata Nugie
Plong! Batinku.
“Dia...” Nugie melanjutkan kalimatnya sambil menatap Tasya dengan... Apa? Dengan binar mata yang seakan menyimpan sesuatu yang aku kenal baik apa itu namanya.
            “Haha. Gie, ini si Dhira yang sering kamu ceritain? Cantik” Kalimat Nugie diambil alih Tasya dengan sangat manisnya. Iya, manis. Tasya duduk perlahan di kursi dekat Nugie dengan cara yang manis. Terlihat dia terdidik dengan pendidikan yang sangat baik. The way she treats herself is awesome.
            Aku terkesima hingga telat menjawab pujian Tasya. Jelas jauh sekali dengan apa yang dikatakan Tasya. Aku biasa saja, tidak terlalu cantik. Iya, untuk ukuran seorang fashion editor memang aku berada di line paling bawah. Bos mempekerjakanku mungkin karena kemahiranku mengolah kata instead of how am I looking like.
            “Oh. Kamu bisa aja, Sya. Cantikkan kamu lah hehe” Jawabku dengan perasaan tak menentu.
            Kemudian kami bertiga terlibat dalam topik yang cukup menyita pemikiran, Investasi masa depan. Tasya, Nugie, dan aku meramu topik ini selama beberapa menit kedepan. Hingga di menit selanjutnya, mereka berdua seakan mengambil alih topiknya sendiri seperti lupa bahwa aku juga berada disana. Errr... Rasanya ingin menggebrak meja. Haloooo...I’m here, guys! Don’t you look at me? Jadi, aku harus melihat mereka berdua bersaut-sautan tawa di depanku sedang aku harus menelan kecewa sembari meneguk habis cemburu. Iya, aku cemburu.
            Terlihat Nugie mengobrol asyik dengan Tasya sambil sesekali meringis menahan sakit di perutnya. Sepertinya dia ingin muntah karena alergi dengan serbuk mint yang ada di minuman yang dia pesan tadi. Sudah lama Nugie alergi dengan mint dan ketidakjeliannya kali ini tak bisa ditawar lagi. Dia keliru memesan minuman kali ini. Akupun ijin pergi dari mereka berdua untuk pergi sebentar.
            Sekembalinya aku dari apotek membelikan Nugie obat pereda sakit, mereka berdua sudah tidak ada. Ponselku berbunyi.
Beep beep
Sender: Nugie
                         08819117631
Dhir, kamu kemana? Lama banget. Aku pikir ke toilet. Maaf, aku pulang dulu bareng Tasya soalnya tadi minumanku ada mint-nya. Kau tahu kan aku alergi mint. Aku temui kamu besok ya. I miss you.
JLEB!
Hatiku remuk membaca pesan singkat dari Nugie. Kemudian pesannya aku balas.

Iya, gpp. Tadi aku ke apotek beliin kamu obat, aku tahu kamu alergi mint. Take care yourself. :*
Sent
Semesta, konspirasi macam apa yang kau ciptakan kali ini? Aku kesal setengah mati. Miris diledek situasi. Sudah bertemu dengan yang dimau tapi belum mengungkapkan rindu. Jam menunjukkan pukul 10 malam. Aku bergegas kembali ke kost ku. Namun, ponselku berbunyi lagi.
Beep beep
Sender: Nugie
                         08819117631
Aku perlu bicara denganmu. Kita perlu bicara. Oiya, secangkir coklat panas baik untukmu malam ini. Jangan lupa minum ya. See you tomorrow. :)
Ah, Nugie. Bagaimana bisa kau tahu bahwa perasaanku sedang tak karuan dan aku memang membutuhkan penenang seperti secangkir coklat panas.
Iya. I will. I do really need to talk to you. :)
Sent
Entahlah. Aku memasuki kamar kost ku dan melihat Mira sudah tertidur dengan pulasnya. Padahal aku ingin curhat. Ya sudah, segera memejam agar bisa menemui Nugie. Pikirku.
***
Pagi. Nugie menemuiku pagi sekali. Kantor masuk jam 8 pagi, sedang ini masih jam 7 dan kami sudah ketemuan disini. Didepan kost ku.
“Kamu, apa kabar?” Sapanya pagi ini.
“Hoahm...apa sih, seperti baru ketemu aja.” Jawabku sambil menguap. Aku masih menggunakan piyama baju tidurku saat itu, aku tak pernah merasa nyaman bertemu dengan orang setiap bangun tidur apalagi belum mandi. Tapi ini tidak berlaku untuk Nugie. Karena aku selalu merasa nyaman dalam keadaan seperti apapun dan bagaimanapun.
“Dhir, aku kangen kamu” Dia menatapku sambil memelukku erat.
“Akupun” Jawabku dalam pelukan Nugie.
“Aku perlu membicarakan yang kemarin” Imbuhnya sambil melepas pelukannya.
“Ah lupakan, santai aja. Gak apa-apa kok. Soal Tasya,...” jawabku dan kalimatku pun dipotong Nugie.
“Iya, maksudku dia.” Nugie melanjutkan kalimatku.
“Udah ah. Tenang, aku gak cemburu. Aku sayang kamu.” Aku senyum kearahnya sambil sekali lagi memeluknya erat.
“Kita jadian aja yuk, Gie!” Akupun memberanikan diri mengatakan kalimat ini dalam pelukannya.
“Maaf, gak bisa Dhir.” Jawab Nugie.
Aku melepas pelukanku dan menatapnya serius.
“Kenapa?”
“Aku..”
“Kamu udah gak sayang aku?”
“Dhir, aku sayang kamu. Tapi kamu perlu tahu, aku gak bisa.”
“Maksudmu?”
“Kita temenan aja ya. Aku sayang kamu sebagai teman.”
Kalimat Nugie benar-benar seperti halilintar di pagi hari. Aku seakan dijatuhkan dari langit ke tujuh. I’m falling to pieces.
“Aku akan menikah”
“Apa?”
“Dengan siapa?”
“Tasya”
“Tapi, katamu dia partner mu?”
“Iya, partner hidupku. Aku menunggumu cukup lama Adira Khairina Pramesti. Aku lelah. Aku menyerah. Bertahun-tahun aku menunggumu tapi kau tak segera memberi kepastian kepadaku. Aku menyerah pada waktu, hingga Tasya datang menyelamatkan hatiku.”
Nugie pun memelukku erat sambil berkata “Kamu baik, kamu pasti dapat orang yang baik pula.”. Akupun mematung tanpa berkata apa-apa. Bising suara knalpot motor lalu lalang di depan kost ku menjadi nada tak beraturan dalam hatiku. Aku masih berdiri. Nugie pun pamit pergi dan meninggalkanku; meninggalkan kost dan hatiku.
Sepuluh menit kemudian.
“Lo udah bangun, Dhir?” Rara mendekatiku sembari menyodorkan kertas persegi panjang yang bertaburan hiasan glitter dan tertulis dengan font yang indah. Air mata yang tertahan dipelupuk pun jatuh, tanda kekecewaan yang menumpuk. Di kertas itu tertulis jelas nama Nugie Adyaksa Putra dan Kamalia Tasya Anggraeni yang akan menikah terhitung sepuluh hari dari sekarang.
“Eh, lo kenapa nangis?” Tanya Mira
“Ra....” Aku memeluk erat Mira dan menangis sekencangnya.
“Kamu kenapa. Dhira?”
“Aku melewatkannya, Ra.”


2 comments: