Senjaku tak ubahnya repetisi kehilangan,
kehilangan yang cukup dalam.
Kerinduan dengan binalnya mengoyak hati
tanpa ampun, menjadikannya hancur lebur.
Masih terekam jelas di memori otak
bagaimana aku yang penuh gempita menanti kehadiranmu.
Sewaktu kau masih sebesar biji salak, aku
tak putus melafalkan do’a meminta Tuhan menjagamu dalam rahimku.
Jemariku acap kali membelai lembut
dirimu meski dari kulit luar tubuhku. Apa kau menerima jutaan sinyal kasih dan
sayang di dalam sana? Apa kau merasakan degup jantungku yang riuh mengajakmu
bicara? Apa kau merasakan hangat dan nyaman teramat sangat?
Aku merasakanmu, hidup.
Seringkali aku berpikir bahwa nafas yang
kuhembuskan mungkin setengahnya adalah nafasmu.