Senjaku tak ubahnya repetisi kehilangan,
kehilangan yang cukup dalam.
Kerinduan dengan binalnya mengoyak hati
tanpa ampun, menjadikannya hancur lebur.
Masih terekam jelas di memori otak
bagaimana aku yang penuh gempita menanti kehadiranmu.
Sewaktu kau masih sebesar biji salak, aku
tak putus melafalkan do’a meminta Tuhan menjagamu dalam rahimku.
Jemariku acap kali membelai lembut
dirimu meski dari kulit luar tubuhku. Apa kau menerima jutaan sinyal kasih dan
sayang di dalam sana? Apa kau merasakan degup jantungku yang riuh mengajakmu
bicara? Apa kau merasakan hangat dan nyaman teramat sangat?
Aku merasakanmu, hidup.
Seringkali aku berpikir bahwa nafas yang
kuhembuskan mungkin setengahnya adalah nafasmu.
Kau alasan untuk setiap pertanyaan kenapa aku dihidupkan Tuhan.
Kau alasan untuk setiap pertanyaan kenapa aku dihidupkan Tuhan.
Setiap fase perkembanganmu membuatku
haru, penuh ketidaksabaran sembari menerka-nerka wajahmu, menyusun puluhan
rencana untuk menghidupimu.
Bukan hanya aku yang dipeluk
kebahagiaan, ada orang yang bahkan memeras peluh keringat dengan kobaran
semangat ingin memberikan pendidikan layak untukmu.
Dia, siapa lagi kalau bukan Ayahmu.
Kehadiranmu mempertegas tujuan hidup
kami, mengisinya dengan perhitungan matematika yang cukup cermat. Menjadikanmu
yang diutamakan.
Menjadikanmu satu-satunya semenjak
divonis dokter bahwa kami tak bisa memiliki anak lagi. Tapi, itu bukan masalah
besar. Syukur senantiasa mengiringi kami, dengan adamu kami merasa cukup. Kami
tak ubahnya sedang merenda kebahagiaan.
Kau memang layak dibanggakan, perangai
wajahmu yang asih dan sikap santunmu sering menghadiahi kami pujian dari orang
sekitar.
Kau selalu pulang tepat waktu, tak
pernah kutemui seragam yang kusut penuh keringat seperti punya anak tetangga
sepulang sekolah.
Tak cukup hanya bersikap baik,
sekumpulan piala semenjak kau baru bisa bicara hingga tamat pendidikan sarjana
pun gemar kau koleksi.
Coba beritahu aku adakah orang tua yang
tidak membusungkan dada jika memiliki anak sepertimu? Sepertinya Tuhan
berlebihan memberi kebahagiaan.
Senja yang entah keberapa, aku sering
mengingatmu dan merindumu lebih hebat dari senja kemarin.
Namun..
Semestaku Nandini,
Seharusnya kamu duduk bersama kami
disini, agar kami tak hanya fokus menikmati meronanya langit dikecup senja.
Seharusnya kamu duduk bersama kami
disini, sembari berisik melaporkan kegaduhan yang diciptakan anakmu yang sudah
beranjak remaja.
Seharusnya kamu duduk bersama kami
disini, untuk sekedar berbagi tawa dirumah masa kecilmu ini.
Aku mulai bosan menyembunyikan rindu
yang menganak sungai disudut mata. Tubuhku mulai digerogoti usia, mataku mulai
rabun dan kaki reyotku mulai sering jatuh untuk sekedar berdiri.
Ayahmu mulai bosan memandangi kepul asap
teh yang kurang manis buatanku. Iya, kadar gula ayahmu kambuh lagi. Kacamatanya
bahkan terlalu tebal untuk sekedar membaca deret aksara berita cetak.
Untuk berjalan keluar teras rumah saja,
ia perlu alat bantu serupa sebilah kayu pemberian tetangga. Karena belagu dan
tak sadar usia, ia terjatuh dari meja setinggi satu meter ketika memperbaiki
talang genteng yang bocor.
Aku bak radio rusak yang perlu seminggu
untuk berhenti bersuara memarahinya. Dia memang berkepala batu.
Sudah berkali-kali kami kehilangan pena
untuk membubuhkan tanda terima santunan dari orang kaya, mungkin jatuh di bawah
dipan kasur.
Aku seringkali menjulurkan tangan
meraba-raba jika terjatuh disana, tapi tak sekalipun aku berhasil. Yang ada
tangan keriputku penuh dengan rumah laba-laba.
Senja kami bukan lagi hamparan langit
yang menyejukkan jiwa melainkan potret sendu yang menggoreskan luka.
Belum kering luka menganga akibat
ditinggalkan olehmu, telinga dibuat merah oleh hujatan tetangga. Kata mereka,
suamimu dengan lantang berkata tak mengenal kami ketika diingatkan untuk
berkunjung pulang.
Perihal ketidaksetujuan kami tentang
pilihanmu menikah dengannya, seharusnya bukan alasan kau pergi selama ini. Terhitung
dua dasawarsa sudah kami menyesap senja tanpamu.
Nandini, harus berapa banyak senja yang
perlu kami habiskan untuk meluruhkan egomu?
Pulanglah nak..
Kami merindukanmu..
keren :D
ReplyDeleteTerima kasih sudah dibaca. :)
Deleteapakah dunia menelan Nandini dalam gemerlap yg begitu dini? hingga melupakan jalan pulang.
ReplyDeleteNandini, tersesat terlampau jauh sehingga lupa arah pulang. Thanks for reading and following my blog anyway. :')
Delete