Sunday, November 3, 2013

Nandini

Nandini,
Senjaku tak ubahnya repetisi kehilangan, kehilangan yang cukup dalam.
Kerinduan dengan binalnya mengoyak hati tanpa ampun, menjadikannya hancur lebur.
Masih terekam jelas di memori otak bagaimana aku yang penuh gempita menanti kehadiranmu.
Sewaktu kau masih sebesar biji salak, aku tak putus melafalkan do’a meminta Tuhan menjagamu dalam rahimku.
Jemariku acap kali membelai lembut dirimu meski dari kulit luar tubuhku. Apa kau menerima jutaan sinyal kasih dan sayang di dalam sana? Apa kau merasakan degup jantungku yang riuh mengajakmu bicara? Apa kau merasakan hangat dan nyaman teramat sangat?
Aku merasakanmu, hidup.
Seringkali aku berpikir bahwa nafas yang kuhembuskan mungkin setengahnya adalah nafasmu.
Kau alasan untuk setiap pertanyaan kenapa aku dihidupkan Tuhan.
Setiap fase perkembanganmu membuatku haru, penuh ketidaksabaran sembari menerka-nerka wajahmu, menyusun puluhan rencana untuk menghidupimu.
Bukan hanya aku yang dipeluk kebahagiaan, ada orang yang bahkan memeras peluh keringat dengan kobaran semangat ingin memberikan pendidikan layak untukmu.
Dia, siapa lagi kalau bukan Ayahmu.
 
Kehadiranmu mempertegas tujuan hidup kami, mengisinya dengan perhitungan matematika yang cukup cermat. Menjadikanmu yang diutamakan.
Menjadikanmu satu-satunya semenjak divonis dokter bahwa kami tak bisa memiliki anak lagi. Tapi, itu bukan masalah besar. Syukur senantiasa mengiringi kami, dengan adamu kami merasa cukup. Kami tak ubahnya sedang merenda kebahagiaan.
Kau memang layak dibanggakan, perangai wajahmu yang asih dan sikap santunmu sering menghadiahi kami pujian dari orang sekitar.
Kau selalu pulang tepat waktu, tak pernah kutemui seragam yang kusut penuh keringat seperti punya anak tetangga sepulang sekolah.
Tak cukup hanya bersikap baik, sekumpulan piala semenjak kau baru bisa bicara hingga tamat pendidikan sarjana pun gemar kau koleksi.
Coba beritahu aku adakah orang tua yang tidak membusungkan dada jika memiliki anak sepertimu? Sepertinya Tuhan berlebihan memberi kebahagiaan.
Senja yang entah keberapa, aku sering mengingatmu dan merindumu lebih hebat dari senja kemarin.

Namun..
Semestaku Nandini,
Seharusnya kamu duduk bersama kami disini, agar kami tak hanya fokus menikmati meronanya langit dikecup senja.
Seharusnya kamu duduk bersama kami disini, sembari berisik melaporkan kegaduhan yang diciptakan anakmu yang sudah beranjak remaja.
Seharusnya kamu duduk bersama kami disini, untuk sekedar berbagi tawa dirumah masa kecilmu ini.
Aku mulai bosan menyembunyikan rindu yang menganak sungai disudut mata. Tubuhku mulai digerogoti usia, mataku mulai rabun dan kaki reyotku mulai sering jatuh untuk sekedar berdiri.
Ayahmu mulai bosan memandangi kepul asap teh yang kurang manis buatanku. Iya, kadar gula ayahmu kambuh lagi. Kacamatanya bahkan terlalu tebal untuk sekedar membaca deret aksara berita cetak.
Untuk berjalan keluar teras rumah saja, ia perlu alat bantu serupa sebilah kayu pemberian tetangga. Karena belagu dan tak sadar usia, ia terjatuh dari meja setinggi satu meter ketika memperbaiki talang genteng yang bocor.
Aku bak radio rusak yang perlu seminggu untuk berhenti bersuara memarahinya. Dia memang berkepala batu.
Sudah berkali-kali kami kehilangan pena untuk membubuhkan tanda terima santunan dari orang kaya, mungkin jatuh di bawah dipan kasur.
Aku seringkali menjulurkan tangan meraba-raba jika terjatuh disana, tapi tak sekalipun aku berhasil. Yang ada tangan keriputku penuh dengan rumah laba-laba.
Senja kami bukan lagi hamparan langit yang menyejukkan jiwa melainkan potret sendu yang menggoreskan luka.
Belum kering luka menganga akibat ditinggalkan olehmu, telinga dibuat merah oleh hujatan tetangga. Kata mereka, suamimu dengan lantang berkata tak mengenal kami ketika diingatkan untuk berkunjung pulang.
Perihal ketidaksetujuan kami tentang pilihanmu menikah dengannya, seharusnya bukan alasan kau pergi selama ini. Terhitung dua dasawarsa sudah kami menyesap senja tanpamu.
 
Nandini, harus berapa banyak senja yang perlu kami habiskan untuk meluruhkan egomu?
Pulanglah nak..
Kami merindukanmu..

4 comments:

  1. apakah dunia menelan Nandini dalam gemerlap yg begitu dini? hingga melupakan jalan pulang.

    ReplyDelete
    Replies
    1. Nandini, tersesat terlampau jauh sehingga lupa arah pulang. Thanks for reading and following my blog anyway. :')

      Delete